Social Icons

Pages

Featured Posts

Senin, 23 Februari 2015

Mushaf Kuno Pulau Lombok NTB, Kajian Kodikologis dan Aspek Teks


Latar Belakang

Perkembangan Islam di Nusantara yang demikian pesat, telah melahirkan banyak ulama-ulama besar yang memiliki kemampuan tinggi dalam menulis karya-karya Islami, antara lain: Syeikh Nuruddin Ar-Raniri, Syeikh Abdura’uf al-Fansuri Singkil, Samsuddin As-Sumatrani, dan Hamzah Fansuri dari Aceh, Syeikh Abdussomad Al-Falembani (Palembang), Syeikh Nawawi (Banten), Syeikh Muhammad Arsyad (Banjar) Syeikh Soleh Darat As-Samarani dan Syeikh Yusuf (Makassar). Mereka inilah yang telah menyusun berbagai macam kitab dan buku-buku pengajaran Islam dari berbagai macam kajian, dari tafsir, akidah, syari’ah, akhlaq hingga tasawuf.
Selain kitab dan buku-buku karya Ulama Nusantara, suatu hal yang tidak kalah pentingnya dalam khazanah Islam Nusantara adalah tradisi penulisan mushaf ­­­Al-Qur'an. Penyalinan Al-Qur'an di Nusantara diperkirakan sudah ada sejak akhir abad ke-13, ketika Pasai, di ujung timur Laut Sumatra, menjadi kerajaan pesisir pertama di Nusantara yang memeluk Islam secara resmi melalui pengislaman sang raja. Meskipun begitu, mushaf tertua yang diketahui sampai saat ini berasal dari akhir abad ke-16, tepatnya  Jumadilawal 993 H (1585), koleksi Wiliam Marsden.
Di Indonesia, sepanjang yang diketahui, penulisan Mushaf al-Qur’an telah dimulai sejak 5 abad yang lalu. Mushaf tersebut ditulis oleh seorang ulama al-Faqih ash-Shalih Afifuddin Abdul Baqri bin Abdullah al-Admi yang diselesaikan tahun 1585 M, tepatnya 7 Dzulqaidah 1005 H, di Pulau Ambon. [1]Lima tahun kemudian (tahun 1590 M), seorang gadis bernama Nur Cahya menyelesaikan penulisan Mushaf al-Qur’an di Pegunungan Wawane, Ambon.[2]
Berdasarkan naskah Mushaf al-Qur’an tersebut, diperkirakan bahwa akhir abad ke-16 merupakan awal pertumbuhan penulisan Mushaf al-Qur’an di Indonesia yang ditulis oleh ulama-ulama Pulau Ambon. Tetapi, di penghujung abad ke-19 M minat penulisan Mushaf al-Qur’an di Indonesia semakin berkurang. Malahan, menurut pakar illuminasi al-Qur’an Mahmud Buchari’[3], pembuatan seni Mushaf al-Qur’an di Nusantara mulai terhenti di awal abad ke-19 itu. Kenyataan ini merupakan akibat dari penjajahan yang berkepanjangan sehingga menghambat penyalinan dan penyebaran al-Qur’an, dan belum ada kemajuan dalam teknologi percetakan yang dapat memproduksi Mushaf secara cepat dalam jumlah banyak.[4]
Salah satu wilayah yang menyimpan koleksi mushaf kuno cukup banyak adalah Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Beberapa peneliti pernah melakukan penelitian di wilayah ini, diantaranya adalah M. Syatibi AH yang mengambil lokasi penelitian pada sejumlah mushaf yang terdapat di masyarakat, yakni di Sapit, Lombok Timur, dan Monjok, Kebondaya.[5] Selain Lombok, lokasi yang menjadi penyimpanan mushah kuno di NTB adalah pulau Sumbawa yang tesebar di tiga tempat, yakni Sumbawa, Bima dan Dompu.[6]  Untuk penelitian ini sendiri, mushaf kuno yang diteliti terdapat di dua lokasi, yakni di masjid Raya Kota Mataram dan di Museum NTB Kota Mataram. Mushaf di Pulau Lombok ini menarik untuk dikaji lebih lanjut karena punya keterkaitan dengan wilayah lain seperti Jawa dan wilayah lainnya. Selain itu, aspek yang menarik untuk ditelaah lebih jauh adalah aspek teks, menyangkut tulisan, khat yang digunakan, kesahihan dalam penulisan teks, penggunaan tanda baca dan tajwid, dan beberapa aspek lainnya yang berkaitan dengan aspek teks.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latarbelakang di atas, rumusan masalah yang akan dikaji pada penelitian ini adalah,
1.      Bagaimana keadaan naskah Al-Qur’an kuno di Pulau Lombok, dilihat dari fisik, kelengkapan naskah, serta aspek kodikologisnya?
2.      Bagaimana aspek teks yang termuat di dalamnya?
3.      Sejauhmana penyimpangan teks terjadi di mushaf kuno tersebut?       

Pengertian, Batasan, dan Ruang Lingkup

Penulisan Mushaf al-Qur’an dalam Islam telah dimulai sejak abad pertama sejarahnya. Lima salinan pertama Mushaf pada masa Khalifah Utsman bin Affan (tahun 650 M), yang dikirim ke beberapa wilayah Islam, selanjutnya menjadi naskah baku bagi penyalinan al-Qur’an—disebut Rasm Utsmani. Sejak itulah kegiatan penyalinan Al-Qur’an tidak pernah terhenti. Mula-mula ditulis dalam gaya Kufi yang berkarakter kaku, kemudian dalam gaya kursif Naskhi yang dipelopori oleh Ibn Bawwab di Baghdad (w. 1022 M), Muhaqqaq, Tsuluts, dan gaya-gaya kursif lain. Penyalinan al-Qur’an berlangsung di seluruh wilayah Islam, sejalan dengan penaklukan-penaklukan wilayah baru. Sebagai kitab suci yang menjadi bukti Islam sebagai agama wahyu (revealed religion), kemurnian dan keautentikan al-Qur’an sangat terjaga.
Mushaf (jamak masahif) secara sederhana dapat diartikan kitab atau buku. Dalam KBBI, mushaf diterjemahkan dengan “bagian naskah Al-Qur'an yang bertulis tangan”[7] Secara istilah, dalam pemakaian sehari-hari, kata “mushaf” lazimnya dimengerti sebagai Kitab al-Qur’an, sehingga sering disebut al-Mushaf asy-Syarif yang berarti al-Qur’an yang Mulia. Kata mushaf untuk Al-Qur'an belum banyak digunakan masyarakat Indonesia. Untuk mempermudah pembicaraan, biasanya digunakan kata “qur’an” atau “Al-Qur'an” daripada Mushaf Al-Qur'an. 
Dalam penelitian ini, pengertian Mushaf Al-Qur'an kuno adalah salinan wahyu Allah (al-Qur’an) dalam bentuk lembaran-lembaran naskah tulis terbukukan. Dalam kenyataannya, ia dapat saja berupa lembaran-lembaran tidak lengkap—karena hilang atau rusak—yang merupakan bagian dari sebuah Mushaf lengkap. Termasuk dalam pengertian mushaf Al-Qur'an adalah mushaf yang dilengkapi catatan-catatan tambahan berupa arti, tajwid, perbedaan qiraat, di sekitar teks utama. Adapun diangap kuno jika sudah berusia lebih dari 50 tahun. Namun, kitab-kitab tafsir tidak termasuk dalam pengertian Mushaf, dan tidak tercakup dalam penelitian ini. Meskipun demikian, informasi tambahan dari naskah tafsir dan naskah-naskah lain tetap diperlukan untuk mendukung penelitian ini.
Adapun lingkup pengertian mushaf kuno dalam penelitian ini adalah salinan al-Qur’an secara keseluruhan, yang mencakup teks (nash) al-Qur’an, iluminasi (hiasan sekitar teks), maupun aspek fisik yang lain seperti jenis kertas dan tinta yang dipakai, ukuran naskah, jenis sampul, penjilidan, dan lain-lain. Keseluruhan aspek fisik Mushaf perlu diteliti secara detil. Di samping itu, aspek tekstseperti tanda juz, rubu’, hizb, tanda wakaf juga akan dikaji secara seksama untuk mendapatkan gambaran tentang perkembangan gaya Mushaf-mushaf Al-Qur'an di Indonesia.

Metode Penelitian Pendekatan

Penelitian ini pada dasarnya merupakan penelitian kepustakaan atau lebih tepatnya desk study, dengan penger­tian bahwa kajian ini berupa pengamatan terhadap naskah-naskah Al-Qur’an yang ditemukan di lapangan yang diperkaya dengan penjelasan dari berbagai literatur ter­kait. Dengan demikian, pene­litian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan mengamati dan menelaah naskah-naskah Al-Qur’an yang ditemukan di Pulau Lombok untuk mengidentifikasi, mendeskripsikan, dan menganalisis keadaan naskah, aspek teks yang terdapat di dalamnya.

Teknik Pengumpulan Data

Data diambil dengan penelurusan naskah mushaf Al-Qur’an kuno melalui sejumlah informan yang dipandang representatif dan mengetahui keberadaan naskah, seperti pihak Kementerian Agama dan tokoh masyarakat setempat, untuk menanyakan keberadaan naskah yang dicari. Selanjutnya peneliti menemui pemilik naskah sesuai dengan informasi yang didapat. Naskah yang ditemukan kemudian diambil fotonya secara menyeluruh sebagai bahan inventarisasi dan sebagai bahan analisis lebih lanjut setelah dilakukan pengamatan langsung terhadap naskah tersebut pada saat di lapangan. Selain itu, dilakukan teknik wawancara dengan pemilik naskah atau pihak-pihak yang dianggap mengetahui naskah untuk menjaring informasi berkaitan dengan asal-usul atau riwayat naskah bersangkutan.

Deskripsi dan Analisis Data

Dalam pengolahan data yang diperoleh, digunakan metode deskriptif dan content analysis. Metode deskriptif dipergunakan untuk menggambarkan dan melukiskan berbagai aspek dari manuskrip Al-Qur'an, seperti keadaan teks, kelengkapan mushaf, kertas yang digunakan, kolofon, sistem penulisannya, tanda baca, dan lain-lain. Deskripsi seputar persoalan tersebut didasarkan pada data dan informasi yang diperoleh baik dari pengamatan langsung terhadap naskah maupun dari kajian literatur (penelitian kepustakaan).[8] Sementara itu, content analysis dilakukan untuk menganalisis aspek teks dan yang berkaitan. Aspek teks dalam hal ini meliputi jenis khat yang digunakan, tanda baca, tajwid, kesahihan penulisan, pola penulisan dan hal lain yang dianggap penting.

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pulau Lombok NTB. Dalam penelitian ini terdapat dua lokasi yang menjadi tempat inventarisasi naskah, yakni di Masjid Raya Kota Mataram, dan Museum Nusa Tenggara Barat. Selain dua tempat ini sejatinya masih ada beberapa tempat lagi yang memungkinkan untuk dilakukan inventarisasi, terutama di tangan masyarakat, namun mengingat keterbatasan yang ada, maka lokasi inventarisasi dan penelitian ini hanya fokus di dua tempat yang disebutkan di atas.

Identifikasi Naskah

Berdasarkan penelusuran peneliti di Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat, berhasil ditemukan 17 naskah Al-Qur’an, satu naskah terdapat di Masjid Raya, dan selebihnya terdapat di Museum Nusa Tenggara Barat. Satu mushaf yang terdapat di masjid raya kurang terawat, karena memang tidak ada sarana dan media, serta perhatian khusus untuk merawatnya. Sementara 16 yang lain yang terdapat di Museum. Keenam belas mushaf ini juga tidak mendapat perawatan yang maksimal. Beberapa mushaf bahkan sekadar diletakan di gudang penyimpanan naskah, sehingga kurang mendapat perhatian. Secara keseluruhan, semua mushaf yang terdapat di museum negri NTB ini kurang mendapat perawatan yang memadai. Minimnya pendanaan menjadi salah satu alasan klasik yang sering dikemukakan berkaitan dengan persoalan ini.
Untuk memudahkan, masing-masing dari mushaf yang dinventarisir, baik yang di Masjid Raya maupun yang di Museum Negri NTB diberi kode khusus untuk memudahkan peneliti melakukan klasifikasi, meskipun mushaf-mushaf ini, khususnya yang terdapat di museum memiliki kode dan nomor khusus tersendiri. Untuk kepentingan inventarisasi naskah, keseluruhan mushaf ini peneliti ambil seluruh gambarnya secara utuh, dan bukan bagian-bagian tertentu saja. Untuk kepentingan kajian, maka yang akan dijelaskan hanya beberapa mushaf saja yang dianggap mewakili yang lain. Dalam kajian ini, mushaf yang diteliti adalah mushaf dengan kode MU-M2, MU-M6, MU-M10, dan MU-12.

 Aspek Kodikologis dan Kelengkapan Naskah

Mushaf pertama, dengan kode khusus MU-M2, terdapat di museum Negri NTB. Naskah Al-Qur’an ini berdasarkan registrasi museum memiliki Nomer 07.194. Mushaf ini ditulis menggunakan kertas Eropa. Kondisinya masih utuh, karena jilidnya masih terlihat baik dan juga memiliki sampul meskipun sisi-sisi sampulnya sudah tidak utuh lain di beberapa bagian sisinya. Pada bagian awal terdapat untain doa yang bersisi tentang permohonan doa menambah kecintaan pada kitab suci Al-Qur’an,  dan bisa menjadikannya sebagai  cahaya, obat dan lain-lain. Mushaf pertama ini tidak memiliki kolofon, di bagian depan maupun belakang sehingga tidak ada informasi yang menjelaskan tentang pemilik dan penyalin naskah berserta tahun penyalinan mushaf. Mushaf ini dilengkapi dengan iluminasi dengan motif floral memebentuk segi tiga dengan dominasi warna merah pada sejumlah bagiannya. Ilmuminasi ini terdapat pada tiga tempat, yakni pada bagian awal surah AL-Fatihah dan Al-Baqarah, kemudian pada bagian tengah, Surah Al-Kahfi, dan pada bagian akhir, yakni Surah al-Falaq dan An-Nas.
Secara fisik, mushaf ini ini memiliki ukuran 21x26 cm, dan tebal 8 cm; sedangkan  ukuran bidang teksnya adalah  18x16 cm. Berkaitan dengan kelengkapan, mushaf ini terlihat masih utuh karena awal surat, yakni Al-Fatihah dan akhir surah, an-Nas masih terbaca jelas di mushaf ini. Bahkan, di bagian awal mushaf terdapat untaian doa berkaitan dengan kemulian Al-Qur’an dan di bagian akhir terdapat doa khatmul Qur’an. Berkaitan dengan asal-usul, pihak museum menjelaskan, bahwa mushaf ini pada mulanya dimiliki oleh masyarakat, dan kemudian diserahkan pada pihak museum agar dirawat dan terjaga baik dan bisa menjadi infromasi bagi masyarakat yang membutuhkan. Tidak ada keterangan lain yang bisa digali berkaitan dengan asal-usul naskah dan identitas penyalinnya.
Berikutnya adalah mushaf dengan kode naskah MU-M6. Sama dengan sebelumnya, mushaf ini terdapat di Museum Negri NTB, dan menjadi salah satu koleksi museum. Naskah Al-Qur’an ini sendiri memiliki Nomer Registrasi 07. 365. Tidak terdapat kolofon pada mushaf ini, sehingga tidak ada informasi yang menjelaskan tentang asal-usul naskah, pemilik dan penyalin, serta tahun penyalinannya. Mushaf ini ditulis dengan tinta hitam di atas kertas Eropa. Mushaf ini sudah tidak utuh lagi, karena tidak ada bagian awal surah, yakni Al-Fatihah dan lima ayat awal Surah Al-Baqarah. Halaman yang pertama dimulai dengan ayat 5 Surah Al-Baqarah. Namun yang patut disayangkan, penyusunan halaman yang ada, justru menempatkan halaman awal ini pada bagian halaman ketiga, sedangkan halaman pertama diletakan surah Al-Baqarah: 246. Pada bagian akhir, tertulis Surah an-Nasr,namun dengan penyusunan halaman yang juga terbalik-balik, dan nyaris tidak terlihat lagi karena tertutup dengan kertas tissue ‘pelindung’.
Secara fisik, mushaf ini memiliki sampul, namun pada bagian dalamnya sudah tidak utuh lagi, karena terdapat sejumlah bagian halaman yang hilang. Namun demikian, mushaf ini nampak terawat baik, karena setiap kertas dilapisi dengan kertas tissue pelapis yang berfungsi melindungi kertas. Naskah Al-Qur’an ini berukuran  33 x 20 cm, tebal 8 cm, dengan ukuran bidang teks 24 x 12 cm; mushaf ini terdiri dari 15 baris pada masing-masing halamannya.
Selanjutnya adalah mushaf dengan kode naskah MU-M10. Mushaf ini juga menjadi salah satu koleksi museum NTB Kota Mataram  dengan Nomer Registrasi 07.1052. Pada mushaf ini juga tidak ada informasi tentang identitas naskah, mulai dari tahun penyalinan, pemilik, penyalin dan lain sebagainya. Sama dengan mushaf yang pertama, mushaf ini juga memilki ilumniasi, yakni di bagian tengah, Surah Al-Kahfi, dan bagian akhir, Surah al-Falaq dan An-Nas. Bagian awal tidak diketahi memuat atau tidak ilmuninasi karena memang halawan awal mushaf ini sudah hilang.
 Kondisinya cukup mem­prihatinkan, khususnya pada bagian-bagian awal, meskipun terdapat sampul penutup yang melindungi mushaf. Mushaf ini dimulai dari awal juz 2, ditulis diatas kertas daluang, dengan kondisi yang sudah tidak utuh lagi. Namun demikian, surah al-Falaq dan an-Nas masih bisa dijumpai di bagian akhir mushaf. Naskah Al-Qur’an ini berukuran  20 x 14 cm, tebal 8 cm, dengan ukuran bidang teks 15 x 11 cm.
Berikutnya adalah mushaf dengan kode MU-M12. Mushaf ini masih milik Museum NTB dengan Nomer Registrasi 7170.  Mushaf ini ditulis menggunakan kertas Eropa, dan sudah tidak utuh lagi, meskipun masih terdapat sampul yang terbuat dari kain tebal bersulam. Mushaf ini memiliki ukuran  22 x 15 cm, dengan tebal 6 cm; adapaun ukuranbidangteksnya adalah 15 x 10.5 cm. Mushaf ini terdiridari 13 barisuntuk setiap halaman. Pada bagian awal mushaf masih dijumpai surah Al-Fatihah dan awal Al-Baqarah, namun pada bagian akhir sudah tidak ada lagi juz 30. Bagian akhir yang tercantum adalah surah Al-Insan, juz 29. Sama engan sebelumnya, mushaf ini juga tidak memiliki kolofon yang menjelaskan tentang identitas naskah.

Aspek Teks

Aspek teks yang dimaksud pada kajian ini adalah aspek yang meliputi kaligrafi dan kesahihan penulisan ayat, termasuk di dalamnya adalah persoalan tajwid dan tanda waqaf. Karena itu kajian dalam tulisan ini tidak membahas tentang konten tulisan, muatan teks, kritik teks atau latar belakang penulisan sebagaimana lazim dalam kajian tekstologis dalam disiplin ilmu filologi, karena memang teks Al-Qur’an adalah teks yang sudah mapan dan selesai dari sisi isi atau conten sehingga berbeda dengan teks-teks berbahasa Arab lainnya.
Berdarakan alasan diatas, maka kajian pada bagian mushaf kuno ini dibatasi pada hal penulisan ayat dan yang berkaitan dengannya, karena memang ayat Al-Qur’an memiliki kaidah penulisan tersendiri, yakni menggunakan rasm usmani yang membedakannya dengan tulisan berbahasa Arab lain. Karena itu, yang menjadi perhatian dalam hal ini adalah penulisan ayat, meliputi jenis kaligrafi, tanda tajwid, waqaf, dan kesahihan dalam penulisan ayat, serta beberapa penandaan lainnya yang menjadi pelengkap atau ciri khas tulisan mushaf Al-Qur’an.

Jenis Khat dan Kesahihan Penulisan Ayat

Berkaitan dengan khat atau kaligrafi, sebagian besar mushaf, tekmasuk mushaf kuno banyak yang ditulis menggunakan khat naskhi. Khat Nasakh (Naskhi) adalah salah satu jenis Khat yang paling mudah dibaca. Tidak heran jika khat model inilah yang paling banyak digunakan dalam sejumlah penulisan, baik buku-buku ilmiah maupun mushaf Al-Qur’an, dan tidak hanya saat ini, namun juga berlaku pada masa-masa sebelumnya. Karena jenis ini relatif sangat mudah dibaca dan ditulis, maka tulisan ini paling banyak digunakan oleh para muslim dan orang Arab di belahan dunia.
Indikasi mengenai hal ini setidaknya bisa dilihat pada tulisan di sejumlah mushaf Al-Qur’an kuno. Tak terkecuali mushaf kuno Lombok. Dari naskah yang ada, terlihat jelas, bahwa mushaf ini menggunakan khat naskhi dalam model yang sederhana. Penggunaan khat ini memang piihan yang tepat, karena selain mudah dibaca, khat jenis ini juga tidak terlalu rumit sehingga mudah untuk ditulis, sehingga relatif lebih cepat digunakan ketimbang dengan jenis khat lain. 
Gambar di atas menunjukan, bahwa mushaf-mushaf tersebut menggunakan khat naskhi dalam bentuknya yang sederhana. Artinya, penyalin mushaf kurang memperhatikan kaidah-kaidah penulisan khat naskhi yang indah dan menarik. Pada mushaf dua misalnya, penulisan sejumlah huruf terlihat kaku, sehingga nyaris tidak memperlihatkan lengkungan huruf yang khas dalam khat naskhi. Terdapat indikasi, bahwa penyalinan mushaf ini dilakukan oleh masyarakat biasa dan kurang profesional sehingga rangkaian huruf, lafadz dan kalimatnya kurang tertata dengan baik. Ini tentu saja berbeda dengan mushaf-mushaf yang disalin dengan tenaga profesional yang lazim diprakarsai oleh kesultanan atau keraton.[9]
Selain model penulisan khat yang sederhana, pada mushaf-mushaf ini terdapat sejumlah penulisan-penulisan yang tidak lazim. Tidak lazim dalam pengertian ini adalah, bahwa beberapa lafadz, khususnya ketika terletak pada posisi pergantian baris, dan lafadznya kebetulan cukup panjang, beberapa kali selalu dipisah. Ketidaklaziman ini terutama jika dibandingkan dengan model penulisan khat modern yang memiliki kaidah-kaidah yang jelas dalam penulisannya. 
Pemenggalan lafadz demikian tentu saja tidak lazim, untuk tidak mengatakan suatu kesalahan atau penyimpangan. Ada beberapa hal yang bisa ditelaah dari model penulisan demikian. Pertama, penulisan mushaf tidak dilakukan secara profesional, sehingga kurang terlihat rapi, kedua, penulis kurang memahami kaidah penulisan bahasa Arab, sehingga terjadi pemenggalan lafadz yang tidak lazim, atau barangkali juga untuk mensiasati berbagai keterbatasan yang ada. Pada mushaf yang ditulis oleh profesional, atau memahami kaidah penulisan yang baik maka tidak ditemukan model seperti ini, salah satunya mushaf di Kesultanan Ternate. Untuk kasus pemenggalan di atas, seseungguhnya bisa dilakukan beberapa cara, sehingga tidak perlu memenggal lafadz menjadi terpisah dalam baris yang berbeda.

Tajwid dan Tanda Waqaf

Beberapa hal menarik lainnya yang bisa ditelaah adalah tentang tanda tajwid dan waqaf. Pertama tentang tanda waqaf, atau tanda berhenti. Dari pengamatan terhadap naskah yang ada, terlihat bahwa mushaf pertama tidak mensertakan tanda waqaf pada tempat-tempat yang semestinta terdapat tanda waqaf yang lazim ditemukan pada mushaf-mushaf modern. Tempat berhenti pada mushaf kuno tersebut hanyalah tanda-tanda ayat yang dibuat bulatan-bulatan warna merah dan belum bernomer. Demikian nya halnya dengan mushaf kedua, juga tidak ditemukan waqaf. Mushaf yang memiliki tanda waqaf adalah mushaf ketiga dan keempat. Adapun penandaan tanda waqaf yang terdapat pada kedua mushaf bisa dilihat berikt ini,

Tanda Waqaf Mushaf Tiga
Simbol
Keterangan
ت
Waqaf tam, sempurna
ط
Waqaf ini nampaknya digunakan untuk menandai boleh berhenti dan boleh lanjut (pada mushaf modern meng­gunakan symbol ج), dan juga menandai keutamaan berhenti ( di mushaf modern ditandai dengan قلى)

Tanda Waqaf Mushaf Empat
Simbol
Keterangan
ت
Waqaf tam, sempurna
ك
Waqaf kafi, yang berarti cukup

Kemudian, berkaitan dengan tanda tajwid, keempat mushaf ini memiliki catatan dan ciri khas masing-masing, mushaf pertama misalnya hanya mencantumkan tanda panjang di bagian atas mad wajib, dan tidak ada tanda pada hukum tajwid yang lain seperti mad jaiz (yang cukup banyak terdapat pada mushaf kuno lain), idgam, ikhfa dan lain-lain. Pada mushaf kedua, tanda-tanda tajwid malah tidak ditemukan sama sekali, termasuk mad wajib yang lazim terdapat pada sejumlah mushaf kuno. Namun, yang menarik pada mushaf kedua ini adalah lafadz Allah sudah menggunakan fathah berdiri di atas lam (seperti halnya Mushaf Standar Indonesia), dan bahkan sistem penulisaannya sudah menggunakan sistem pojok, mushaf yang lazim dipakai oleh para penghafal Al-Qur’an.
Tanda tajwid juga tidak terdapat pada mushaf ketiga, baik mad wajib maupun yang lainnya. Tanda tajwid yang cukup lengkap baru terdapat pada mushaf keempat. Pada mushaf ini, terdapat tanda panjang untuk mad wajib muttasil dan mad jaiz munfasil. Meskipun ditulis dengan garis lengkung yang sama, namun penyalin membedakannya, yakni mad wajib menggunakan tinta hitam, sementara mad jaiz menggunakan tanda merah. Tanda lain yang dicantumkan adalah izhar yang ditandai dengan huruf nun  ن, kemudian untuk ikhfa menggunakan tanda (seperti) ذ , dan idgham ditandai dengan huruf غ. Namun penggunaan tanda tajwid ini tidak konsisten karena pada bacaan tajwid yang serupa, baik idgam, ikhfa maupun izhar tidak ditandai dengan tanda khusus. Ini menunjukan bahwa penyalinan mushaf tidak dilakukan secara profesioanl sehingga banyak terjadi ketidakaziman baik dalam hal penulisan maupun kekuranglengkapan tanda-tanda tajwid yang ada.

Kesimpulan dan Saran

Tradisi penyalinan mushaf di pulau Lombok nampak lebih banyak dilakukan oleh masyarakat setempat ketimbang dilakukan atau diprakarsai oleh kesultanan atau kerajaan yang lazim dilakukan oleh orang atau tokoh yang memahami tulisan dengan baik. Kesimpulan demikian dibuat setidaknya terlihat dari jenis tulisan, khat yang sangat sederhana dari keempat mushaf yang ada. Hal demikian bisa dimaklumi karena memang Lombok tidak memiliki sejarah kesultanan sebagaimana daerah lain, jika pun ada, hanya berupa kerajaan-kerajaan kecil yang tersebar di beberapa tempat.
Kemudian, berkaitan dengan kelengkapan mushaf, dari mushaf yang dikaji hanya mushaf pertama yang terlihat utuh, artinya masih lengkap dari Al-Fatihah hingga surah An-Nas. Mushaf-mushaf yang lain sudah tidak utuh lagi, sebagian bahkan ada yang sudah rusak pada beberapa bagiannya. Berkaitan dengan kolofon, seluruh mushaf ini  dan beberapa mushaf Lombok lainnya tidak terdapat kolofon yang menjelaskan tentang identitas mushaf, baik menyangkut tahun penulisan, identitas penyalin dan informasi  lainnya yang relevan.
Beberapa aspek teks yang menarik dicermati pada mushaf-mushaf adalah model penulisan khat yang menggunakan khat naskhi dalam bentuk yang sederhana. Penulisan khat ini terlihat kurang memperhatikan kaidah penulisan sehingga ada pemenggalan-pemenggalan lafadz yang tidak lazim, utuk tidak mengatakannya sebagai penyimpangan. Selanjutnya, untuk aspek tanda waqaf, tidak semua menggunakan tanda waqaf, hanya mushaf tiga dan empat saja yang menggunakan. Demikian halnya dengan tanda tajwid, hanya mushaf empat saja yang menggunakan tanda tajwid, dan itu pun dilakukan dengan tidak konsisten dalam penerapannya.
Meski terdapat sejumlah ketidaklaziman, baik dalam kaitannya dengan penulisan, maupun penerapan beberapa tanda baca seperti waqaf dan tajwid, namun mushaf-mushaf ini merupakan warisan para pendahulu, para ulama dan sekaligus menjadi saksi penyebaran Islam di tanah Lombok yang sangat bernilai. Karena itu upaya pelestarian yang lebih maksimal melalui pemerintah mestinya terus bisa diupayakan agar khazanah mushaf kuno ini terus terjaga dan lestari sebagai warisan Nusantara yang menyimpan sejumlah informasi baik yang berkaitan dengan penulisan mushaf Al-Qur’an secara khusus, maupun keislaman secara umum.


Kepustakaan

Anwar,Rosehan, Katalog Naskah Kuno, Jakarta, Badan Litbang Agama, 1991.
Buchari, Mahmud Al-Qur’an Manuskrif, Jakarta: Kharisma, 1999.
Barid, Siti Baroroh, dkk. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Dep. Pendidikan dan Kebudayaan.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi keempat), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Syatibi, M. AH, “Menelusuri Al-Qur’an Tulisan Tangan di Lombok”, dalam Mushaf-mushaf Kuno di Indonesia, ed. Fadhal AR Bafadhal, Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, 2005.






[1]  Mahmud Buchari, Al-Qur’an Manuskrif, Jakarta: Kharisma, 1999, hlm. 12
[2]  Rosehan Anwar, Katalog Naskah Kuno, Jakarta, Badan Litbang Agama, 1991, hlm 191
[3]  Mahmud Buchari, hlm. 3
[4] Penulisan Mushaf al-Qur’an, dalam sejarah, lazimnya disponsori oleh salah satu dari tiga pihak sebagai berikut: kerajaan, pesantren dan elit sosial. Pada zaman dahulu banyak Mushaf al-Qur’an ditulis oleh para ulama atau seniman atas perintah raja-raja atau sultan di suatu tempat. Mushaf-mushaf kuno yang ada di bekas pusat-pusat kerajaan lama membuktikan hal tersebut. Di samping itu, pesantren, yang merupakan pusat pendidikan Islam tradisional sejak berabad lalu, juga diduga memegang peranan penting dalam penulisan al-Qur’an. Pihak lain yang merupakan sponsor penulisan Mushaf adalah elite sosial, mereka yang sejahtera secara sosial-ekonomi.
[5] Lihat M. Syatibi AH, “Menelusuri Al-Qur’an Tulisan Tangan di Lombok”, dalam Mushaf-mushaf Kuno di Indonesia, ed. Fadhal AR Bafadhal, Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, 2005, hlm. 142.
[6] Penelelititian mushaf kuni di pulau Sumbawa ini pernah dilakukan oleh Asep Saefullah yang dimuat di jurnal Lektur dengan judul, Mushaf Kuni dari Pulau Sumbawa NTB, Telaah Aspek Teks dan Perwajahan.
[7] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi keempat), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008. Hlm. 942
[8]Barid, Siti Baroroh, dkk. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, hlm. 67.
[9] Mengutup pendapat Lalu Gede Suparman, Syatibi dalam tulisannya menjelaskan, hamper tidak ada raja-raja Lombok memerintahkan penulisan Al-Qur’an, apalagi system kekuasaan mereka di Lombok lebih bercorak demokratis. Selain itu, para raja cenderung lebih cenderung pada tugas pemerintahan yang berkaitan dengan aspek pertahanan, keamanan, perekonomian dan kemakmuran. LIhat M. Syatibi, M. Syatibi AH, “Menelusuri Al-Qur’an Tulisan Tangan di Lombok”, hlm. 146

Senin, 04 November 2013

Di Balik Nama Al-Qur'an

Mengapa kitab suci umat Islam ini dinamai Al-Qur’an? Apa sesungguhnya makna dan filosofi di balik nama tersebut? Penamaan Al-Qur’an yang diberikan Allah pada kitab suci ini bukanlah tanpa makna dan alasan. Penamaan demikian sesungguhnya ingin memberikan pesan penting kepada umat Islam bagaimana mereka semestinya melihat, mempersepsi dan berinteraksi dengan kitab suci ini. Memahami filosofi penamaan kitab suci ini, dengan kata lain, akan memberikan efek kesadaran bagaimana seharusnya kitab suci ini diperlakukan, dan bukan sekadar diyakini dalam hati dan dinyatakan secara verbal.
Mengenai asal-usul kata Al-Qur’an, para ulama bahasa memiliki pandangan yang tidak sama; sebagian mengatakan bahwa Al-Qur’an berasal dari kata qara’a, sedangkan yang lain mengatakan berasal dari kata qarina. Menurut Manna Khalil Qattan, seorang pakar ulmul Qur’an, asal kata Al-Qur’an adalah qara’a yang berarti ‘menghimpun’ dan ‘menyatukan’. Qira’ah, yang merupakan derivasinya dimaknai dengan ‘menghimpun huruf-huruf dan kata-kata yang satu dengan yang lain dengan susunan yang rapi’ (Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, 1995: 20) Ayat yang digunakan Al-Qattan untuk menjelaskan keterangannya adalah Al-Qur’an Surah al-Qiyamah/75: 17-18. Pendapat senada juga dikemukakan Imam ar-Ragib al-Asfahani, seorang pakar ilmu bahasa. Menurutnya, Al-Qur’an berasal dari kata qara’a yang dalam hal ini berarti ‘mengumpulkan’, ‘menghimpun’, dan ‘membaca’. Makna ‘membaca’ memiliki rangkaian makna dengan makna mengumpulkan dan menghimpun, karena membaca adalah aktivitas yang dilakukan dengan cara menghimpun dan mengumpulkan huruf-huruf sehingga membentuk rangkaian lafaz dan kalimat yang bisa dibaca dan dimengerti. Sedangkan huruf alif dan nun pada kata Al-Qur’an mengandung arti ‘kesempurnaan’ sehingga Al-Qur’an berarti ‘bacaan yang sempurna’. Az-Zajjaj juga memiliki pendapat yang sama. Al-Qur’an berasal dari kata qara’a yang sinonim dengan al-jam’u yang berarti ‘mengumpulkan’. Al-Qur’an dinamakan demikian karena ia adalah kitab yang menghimpun intisari yang terdapat dalam kitab-kitab terdahulu dan menghimpun intisari dari berbagai macam ilmu pengetahuan. (Muchlis M. Hanafi (ed), Ensiklopedia Al-Qur’an pada entri kata Qur’an, juz 3, h. 784)
Keterangan di atas memberikan kita sejumlah pengertian tentang kitab suci Al-Qur’an. Pertama, Al-Qur’an adalah kitab kumpulan, intisari dari kitab-kitab suci yang diturunkan Allah sebelumnya, seperti Zabur, Taurat, Injil, dan termasuk suhuf-suhuf (lembaran) suci yang berisi wahyu yang diturunkan kepada sejumlah nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad. Kedua, Al-Qur’an merupakan bacaan yang sempurna dan paripurna. Dari sini dapat dipahami mengapa Al-Qur’an tidak memiliki cacat, baik dari segi periwayatan maupun dari segi isi dan substansi. Dari segi periwayatan para ulama bersepakat bahwa Al-Qur’an diriwayatkan secara mutawatir yang tidak mungkin membuka peluang adanya kekeliruan dan missing link sebagaimana dikemukakan sejumlah orientaslis. Sifat periwayatan Al-Qur’an ini berbeda dengan hadis, yang membuka peluang adanya kesalahan dan kekeliruan, baik dari segi lafaz maupun maknanya. Dari sini bisa dipastikan, Al-Qur’an adalah kitab suci yang sempurna dan terjaga keasliannya dari sejak diturunkan pertama kali, hingga saat ini. Terkait dengan keaslian Al-Qur’an, Allah Swt dalam Surah al-Hijr/15: 9 bahkan berjanji, akan menjaganya. Dari sini bisa dipastikan, bahwa Al-Qur’an yang kita baca saat ini adalah Al-Qur’an yang juga dibaca Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya pada kurun empat belas abad yang lalu.
Demikian halnya dari segi isi dan substansi. Pada sisi ini tampak bahwa pembahasan Al-Qur’an meliputi berbagai hal yang menjadi kebutuhan manusia, terutama dalam rangka mencari petunjuk Allah Swt. Dalam Surah al-An’am/6: 38 Allah menjelaskan, “... Tidak ada satu pun yang kami luputkan dalam al-Kitab.” Artinya, pada sisi ini Al-Qur’an dapat dikatakan sebagai kitab yang mencakup berbagai hal yang menjadi kebutuhan manusia sepanjang masa, bahkan hal-hal yang belum terpikirkan oleh manusia yang besifat futuristik. Ia adalah kitab yang sempurna dan memiliki peran melakukan penyempurnaan kitab-kitab ilahiah sebelumnya. Inilah sebagian pengertian yang bisa dipetik dari penamaan Al-Qur’an melalui tinjauan bahasa.


 

Daftar Blog Saya

Sample text

Sample Text

Sample Text