Latar Belakang
Perkembangan
Islam di Nusantara yang demikian pesat, telah melahirkan banyak ulama-ulama
besar yang memiliki kemampuan tinggi dalam menulis karya-karya Islami, antara
lain: Syeikh Nuruddin Ar-Raniri, Syeikh Abdura’uf al-Fansuri Singkil, Samsuddin
As-Sumatrani, dan Hamzah Fansuri dari Aceh, Syeikh Abdussomad Al-Falembani
(Palembang), Syeikh Nawawi (Banten), Syeikh Muhammad Arsyad (Banjar) Syeikh
Soleh Darat As-Samarani dan Syeikh Yusuf (Makassar). Mereka inilah yang telah
menyusun berbagai macam kitab dan buku-buku pengajaran Islam dari berbagai
macam kajian, dari tafsir, akidah, syari’ah, akhlaq hingga tasawuf.
Selain
kitab dan buku-buku karya Ulama Nusantara, suatu hal yang tidak kalah
pentingnya dalam khazanah Islam Nusantara adalah tradisi penulisan mushaf Al-Qur'an.
Penyalinan Al-Qur'an di Nusantara diperkirakan sudah ada sejak akhir abad
ke-13, ketika Pasai, di ujung timur Laut Sumatra, menjadi kerajaan pesisir
pertama di Nusantara yang memeluk Islam secara resmi melalui pengislaman sang
raja. Meskipun begitu, mushaf tertua yang diketahui sampai saat ini berasal
dari akhir abad ke-16, tepatnya
Jumadilawal 993 H (1585), koleksi Wiliam Marsden.
Di
Indonesia, sepanjang yang diketahui, penulisan Mushaf al-Qur’an telah dimulai
sejak 5 abad yang lalu. Mushaf tersebut ditulis oleh seorang ulama al-Faqih
ash-Shalih Afifuddin Abdul Baqri bin Abdullah al-Admi yang diselesaikan
tahun 1585 M, tepatnya 7 Dzulqaidah 1005 H, di Pulau Ambon. [1]Lima
tahun kemudian (tahun 1590 M), seorang gadis bernama Nur Cahya menyelesaikan
penulisan Mushaf al-Qur’an di Pegunungan Wawane, Ambon.[2]
Berdasarkan naskah Mushaf
al-Qur’an tersebut, diperkirakan bahwa akhir abad ke-16 merupakan awal
pertumbuhan penulisan Mushaf al-Qur’an di Indonesia yang ditulis oleh
ulama-ulama Pulau Ambon. Tetapi, di penghujung abad ke-19 M minat penulisan
Mushaf al-Qur’an di Indonesia semakin berkurang. Malahan, menurut pakar illuminasi
al-Qur’an Mahmud Buchari’[3],
pembuatan seni Mushaf al-Qur’an di Nusantara mulai terhenti di awal abad ke-19
itu. Kenyataan ini merupakan akibat dari penjajahan yang berkepanjangan
sehingga menghambat penyalinan dan penyebaran al-Qur’an, dan belum ada kemajuan
dalam teknologi percetakan yang dapat memproduksi Mushaf secara cepat dalam
jumlah banyak.[4]
Salah satu wilayah yang
menyimpan koleksi mushaf kuno cukup banyak adalah Pulau Lombok, Nusa Tenggara
Barat. Beberapa peneliti pernah melakukan penelitian di wilayah ini,
diantaranya adalah M. Syatibi AH yang mengambil lokasi penelitian pada sejumlah
mushaf yang terdapat di masyarakat, yakni di Sapit, Lombok Timur, dan Monjok,
Kebondaya.[5]
Selain Lombok, lokasi yang menjadi penyimpanan mushah kuno di NTB adalah pulau
Sumbawa yang tesebar di tiga tempat, yakni Sumbawa, Bima dan Dompu.[6]
Untuk penelitian ini sendiri, mushaf
kuno yang diteliti terdapat di dua lokasi, yakni di masjid Raya Kota Mataram
dan di Museum NTB Kota Mataram. Mushaf di Pulau Lombok ini menarik untuk dikaji
lebih lanjut karena punya keterkaitan dengan wilayah lain seperti Jawa dan
wilayah lainnya. Selain itu, aspek yang menarik untuk ditelaah lebih jauh
adalah aspek teks, menyangkut tulisan, khat yang digunakan, kesahihan dalam
penulisan teks, penggunaan tanda baca dan tajwid, dan beberapa aspek lainnya
yang berkaitan dengan aspek teks.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latarbelakang di atas, rumusan masalah yang akan dikaji pada penelitian ini
adalah,
1.
Bagaimana
keadaan naskah Al-Qur’an kuno di Pulau Lombok, dilihat dari fisik, kelengkapan
naskah, serta aspek kodikologisnya?
2.
Bagaimana
aspek teks yang termuat di dalamnya?
3.
Sejauhmana
penyimpangan teks terjadi di mushaf kuno tersebut?
Pengertian, Batasan, dan Ruang Lingkup
Penulisan
Mushaf al-Qur’an dalam Islam telah dimulai sejak abad pertama sejarahnya. Lima
salinan pertama Mushaf pada masa Khalifah Utsman bin Affan (tahun 650 M), yang
dikirim ke beberapa wilayah Islam, selanjutnya menjadi naskah baku bagi
penyalinan al-Qur’an—disebut Rasm Utsmani. Sejak itulah kegiatan
penyalinan Al-Qur’an tidak pernah terhenti. Mula-mula ditulis dalam gaya Kufi
yang berkarakter kaku, kemudian dalam gaya kursif Naskhi yang
dipelopori oleh Ibn Bawwab di Baghdad (w. 1022 M), Muhaqqaq, Tsuluts,
dan gaya-gaya kursif lain. Penyalinan al-Qur’an berlangsung di seluruh wilayah
Islam, sejalan dengan penaklukan-penaklukan wilayah baru. Sebagai kitab suci
yang menjadi bukti Islam sebagai agama wahyu (revealed religion),
kemurnian dan keautentikan al-Qur’an sangat terjaga.
Mushaf
(jamak masahif) secara sederhana dapat
diartikan kitab atau buku. Dalam KBBI, mushaf diterjemahkan dengan “bagian
naskah Al-Qur'an yang bertulis tangan”[7]
Secara istilah, dalam pemakaian sehari-hari, kata “mushaf” lazimnya dimengerti
sebagai Kitab al-Qur’an, sehingga sering disebut al-Mushaf asy-Syarif
yang berarti al-Qur’an yang Mulia. Kata mushaf untuk Al-Qur'an belum banyak
digunakan masyarakat Indonesia. Untuk mempermudah pembicaraan, biasanya
digunakan kata “qur’an” atau “Al-Qur'an” daripada Mushaf Al-Qur'an.
Dalam
penelitian ini, pengertian Mushaf Al-Qur'an kuno adalah salinan wahyu Allah
(al-Qur’an) dalam bentuk lembaran-lembaran naskah tulis terbukukan. Dalam
kenyataannya, ia dapat saja berupa lembaran-lembaran tidak lengkap—karena
hilang atau rusak—yang merupakan bagian dari sebuah Mushaf lengkap. Termasuk
dalam pengertian mushaf Al-Qur'an adalah mushaf yang dilengkapi catatan-catatan
tambahan berupa arti, tajwid, perbedaan qiraat, di sekitar teks utama. Adapun
diangap kuno jika sudah berusia lebih dari 50 tahun. Namun, kitab-kitab tafsir
tidak termasuk dalam pengertian Mushaf, dan tidak tercakup dalam penelitian
ini. Meskipun demikian, informasi tambahan dari naskah tafsir dan naskah-naskah
lain tetap diperlukan untuk mendukung penelitian ini.
Adapun
lingkup pengertian mushaf kuno dalam penelitian ini adalah salinan al-Qur’an
secara keseluruhan, yang mencakup teks (nash) al-Qur’an, iluminasi
(hiasan sekitar teks), maupun aspek fisik yang lain seperti jenis kertas dan
tinta yang dipakai, ukuran naskah, jenis sampul, penjilidan, dan lain-lain.
Keseluruhan aspek fisik Mushaf perlu diteliti secara detil. Di samping itu,
aspek tekstseperti tanda juz, rubu’, hizb, tanda wakaf juga akan dikaji secara
seksama untuk mendapatkan gambaran tentang perkembangan gaya Mushaf-mushaf
Al-Qur'an di Indonesia.
Metode Penelitian Pendekatan
Penelitian
ini pada dasarnya merupakan penelitian kepustakaan atau lebih tepatnya desk
study, dengan pengertian bahwa kajian ini berupa pengamatan terhadap
naskah-naskah Al-Qur’an yang ditemukan di lapangan yang diperkaya dengan
penjelasan dari berbagai literatur terkait. Dengan demikian, penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan mengamati dan menelaah naskah-naskah
Al-Qur’an yang ditemukan di Pulau Lombok untuk mengidentifikasi,
mendeskripsikan, dan menganalisis keadaan naskah, aspek teks yang terdapat di
dalamnya.
Teknik Pengumpulan Data
Data diambil dengan penelurusan naskah mushaf
Al-Qur’an kuno melalui sejumlah informan yang dipandang representatif
dan mengetahui keberadaan naskah, seperti pihak Kementerian Agama dan tokoh
masyarakat setempat, untuk menanyakan keberadaan naskah yang dicari.
Selanjutnya peneliti menemui pemilik naskah sesuai dengan informasi yang didapat. Naskah yang ditemukan kemudian diambil fotonya secara
menyeluruh sebagai bahan inventarisasi dan sebagai bahan analisis lebih lanjut
setelah dilakukan pengamatan langsung terhadap naskah tersebut pada saat di
lapangan. Selain itu, dilakukan teknik wawancara dengan pemilik naskah atau
pihak-pihak yang dianggap mengetahui naskah untuk menjaring informasi berkaitan
dengan asal-usul atau riwayat naskah bersangkutan.
Deskripsi dan Analisis Data
Dalam pengolahan data yang
diperoleh, digunakan metode deskriptif dan content analysis. Metode
deskriptif dipergunakan untuk menggambarkan dan melukiskan berbagai aspek dari
manuskrip Al-Qur'an, seperti keadaan teks, kelengkapan mushaf, kertas yang
digunakan, kolofon, sistem penulisannya, tanda baca, dan lain-lain. Deskripsi
seputar persoalan tersebut didasarkan pada data dan informasi yang diperoleh
baik dari pengamatan langsung terhadap naskah maupun dari kajian literatur
(penelitian kepustakaan).[8] Sementara itu, content
analysis dilakukan untuk menganalisis aspek teks dan yang berkaitan. Aspek teks dalam hal ini meliputi jenis
khat yang digunakan, tanda baca, tajwid, kesahihan penulisan, pola penulisan dan hal lain
yang dianggap penting.
Lokasi Penelitian
Penelitian
ini dilakukan di Pulau Lombok NTB. Dalam penelitian ini terdapat dua lokasi
yang menjadi tempat inventarisasi naskah, yakni di Masjid Raya Kota Mataram,
dan Museum Nusa Tenggara Barat. Selain dua tempat ini sejatinya masih ada
beberapa tempat lagi yang memungkinkan untuk dilakukan inventarisasi, terutama
di tangan masyarakat, namun mengingat keterbatasan yang ada, maka lokasi
inventarisasi dan penelitian ini hanya fokus di dua tempat yang disebutkan di
atas.
Identifikasi Naskah
Berdasarkan
penelusuran peneliti di Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat, berhasil ditemukan 17
naskah Al-Qur’an, satu naskah terdapat di Masjid Raya, dan selebihnya terdapat
di Museum Nusa Tenggara Barat. Satu mushaf yang terdapat di masjid raya kurang
terawat, karena memang tidak ada sarana dan media, serta perhatian khusus untuk
merawatnya. Sementara 16 yang lain yang terdapat di Museum. Keenam belas mushaf
ini juga tidak mendapat perawatan yang maksimal. Beberapa mushaf bahkan sekadar
diletakan di gudang penyimpanan naskah, sehingga kurang mendapat perhatian.
Secara keseluruhan, semua mushaf yang terdapat di museum negri NTB ini kurang
mendapat perawatan yang memadai. Minimnya pendanaan menjadi salah satu alasan
klasik yang sering dikemukakan berkaitan dengan persoalan ini.
Untuk
memudahkan, masing-masing dari mushaf yang dinventarisir, baik yang di Masjid
Raya maupun yang di Museum Negri NTB diberi kode khusus untuk memudahkan
peneliti melakukan klasifikasi, meskipun mushaf-mushaf ini, khususnya yang
terdapat di museum memiliki kode dan nomor khusus tersendiri. Untuk kepentingan
inventarisasi naskah, keseluruhan mushaf ini peneliti ambil seluruh gambarnya
secara utuh, dan bukan bagian-bagian tertentu saja. Untuk kepentingan kajian,
maka yang akan dijelaskan hanya beberapa mushaf saja yang dianggap mewakili
yang lain. Dalam kajian ini, mushaf yang diteliti adalah mushaf dengan kode MU-M2,
MU-M6, MU-M10, dan MU-12.
Aspek Kodikologis dan Kelengkapan Naskah
Mushaf
pertama, dengan kode khusus MU-M2, terdapat di museum Negri NTB. Naskah
Al-Qur’an ini berdasarkan registrasi museum memiliki Nomer 07.194. Mushaf ini
ditulis menggunakan kertas Eropa. Kondisinya masih utuh, karena jilidnya masih
terlihat baik dan juga memiliki sampul meskipun sisi-sisi sampulnya sudah tidak
utuh lain di beberapa bagian sisinya. Pada bagian awal terdapat untain doa yang
bersisi tentang permohonan doa menambah kecintaan pada kitab suci Al-Qur’an, dan bisa menjadikannya sebagai cahaya, obat dan lain-lain. Mushaf pertama ini
tidak memiliki kolofon, di bagian depan maupun belakang sehingga tidak ada
informasi yang menjelaskan tentang pemilik dan penyalin naskah berserta tahun
penyalinan mushaf. Mushaf ini dilengkapi dengan iluminasi dengan motif floral
memebentuk segi tiga dengan dominasi warna merah pada sejumlah bagiannya.
Ilmuminasi ini terdapat pada tiga tempat, yakni pada bagian awal surah
AL-Fatihah dan Al-Baqarah, kemudian pada bagian tengah, Surah Al-Kahfi, dan
pada bagian akhir, yakni Surah al-Falaq dan An-Nas.
Berikutnya adalah mushaf dengan kode naskah MU-M6.
Sama dengan sebelumnya, mushaf ini terdapat di Museum Negri NTB, dan menjadi
salah satu koleksi museum. Naskah Al-Qur’an ini sendiri memiliki Nomer Registrasi
07. 365. Tidak terdapat kolofon pada mushaf ini, sehingga tidak ada informasi yang
menjelaskan tentang asal-usul naskah, pemilik dan penyalin, serta tahun
penyalinannya. Mushaf ini ditulis dengan tinta hitam di atas kertas Eropa. Mushaf
ini sudah tidak utuh lagi, karena tidak ada bagian awal surah, yakni Al-Fatihah
dan lima ayat awal Surah Al-Baqarah. Halaman yang pertama dimulai dengan ayat 5
Surah Al-Baqarah. Namun yang patut disayangkan, penyusunan halaman yang ada,
justru menempatkan halaman awal ini pada bagian halaman ketiga, sedangkan
halaman pertama diletakan surah Al-Baqarah: 246. Pada bagian akhir, tertulis Surah an-Nasr,namun dengan penyusunan
halaman yang juga terbalik-balik, dan nyaris tidak terlihat lagi karena
tertutup dengan kertas tissue ‘pelindung’.
Secara fisik, mushaf ini memiliki sampul, namun
pada bagian dalamnya sudah tidak utuh lagi, karena terdapat sejumlah bagian halaman
yang hilang. Namun demikian, mushaf ini nampak terawat baik, karena setiap
kertas dilapisi dengan kertas tissue pelapis yang berfungsi melindungi kertas. Naskah
Al-Qur’an ini berukuran 33
x 20 cm, tebal 8 cm, dengan ukuran bidang teks 24
x 12 cm; mushaf ini terdiri dari 15 baris pada masing-masing
halamannya.
Kondisinya
cukup memprihatinkan, khususnya pada bagian-bagian awal, meskipun terdapat
sampul penutup yang melindungi mushaf. Mushaf ini dimulai dari awal juz 2, ditulis
diatas kertas daluang, dengan kondisi yang
sudah tidak utuh lagi. Namun demikian, surah al-Falaq dan an-Nas masih bisa
dijumpai di bagian akhir mushaf. Naskah Al-Qur’an ini berukuran 20 x 14 cm,
tebal 8 cm, dengan ukuran bidang teks 15 x 11 cm.
Aspek Teks
Aspek teks yang
dimaksud pada kajian ini adalah aspek yang meliputi kaligrafi dan kesahihan
penulisan ayat, termasuk di dalamnya adalah persoalan tajwid dan tanda waqaf.
Karena itu kajian dalam tulisan ini tidak membahas tentang konten tulisan,
muatan teks, kritik teks atau latar belakang penulisan sebagaimana lazim dalam
kajian tekstologis dalam disiplin ilmu filologi, karena memang teks Al-Qur’an adalah
teks yang sudah mapan dan selesai dari sisi isi atau conten sehingga berbeda
dengan teks-teks berbahasa Arab lainnya.
Berdarakan alasan
diatas, maka kajian pada bagian mushaf kuno ini dibatasi pada hal penulisan
ayat dan yang berkaitan dengannya, karena memang ayat Al-Qur’an memiliki kaidah
penulisan tersendiri, yakni menggunakan rasm usmani yang membedakannya dengan
tulisan berbahasa Arab lain. Karena itu, yang menjadi perhatian dalam hal ini
adalah penulisan ayat, meliputi jenis kaligrafi, tanda tajwid, waqaf, dan kesahihan
dalam penulisan ayat, serta beberapa penandaan lainnya yang menjadi pelengkap
atau ciri khas tulisan mushaf Al-Qur’an.
Jenis Khat dan Kesahihan Penulisan Ayat
Berkaitan dengan khat atau kaligrafi, sebagian besar
mushaf, tekmasuk mushaf kuno banyak yang ditulis menggunakan khat naskhi. Khat Nasakh
(Naskhi) adalah salah satu jenis Khat yang paling mudah dibaca. Tidak heran
jika khat model inilah yang paling banyak digunakan dalam sejumlah penulisan, baik
buku-buku ilmiah maupun mushaf Al-Qur’an, dan tidak hanya saat ini, namun juga
berlaku pada masa-masa sebelumnya. Karena jenis ini relatif sangat mudah dibaca
dan ditulis, maka tulisan ini paling banyak digunakan oleh para muslim dan
orang Arab di belahan dunia.
Indikasi
mengenai hal ini setidaknya bisa dilihat pada tulisan di sejumlah mushaf
Al-Qur’an kuno. Tak terkecuali mushaf kuno Lombok. Dari naskah yang ada,
terlihat jelas, bahwa mushaf ini menggunakan khat naskhi dalam model yang sederhana.
Penggunaan khat ini memang piihan yang tepat, karena selain mudah dibaca, khat
jenis ini juga tidak terlalu rumit sehingga mudah untuk ditulis, sehingga
relatif lebih cepat digunakan ketimbang dengan jenis khat lain.
Gambar di atas
menunjukan, bahwa mushaf-mushaf tersebut menggunakan khat naskhi dalam
bentuknya yang sederhana. Artinya, penyalin mushaf kurang memperhatikan kaidah-kaidah
penulisan khat naskhi yang indah dan menarik. Pada mushaf dua misalnya,
penulisan sejumlah huruf terlihat kaku, sehingga nyaris tidak memperlihatkan
lengkungan huruf yang khas dalam khat naskhi. Terdapat indikasi, bahwa penyalinan mushaf ini dilakukan
oleh masyarakat biasa dan kurang profesional sehingga rangkaian huruf, lafadz
dan kalimatnya kurang tertata dengan baik. Ini tentu saja berbeda dengan mushaf-mushaf yang disalin dengan tenaga
profesional yang lazim diprakarsai
oleh kesultanan atau keraton.[9]
Selain model penulisan
khat yang sederhana, pada mushaf-mushaf ini terdapat sejumlah
penulisan-penulisan yang tidak lazim. Tidak lazim dalam pengertian ini adalah,
bahwa beberapa lafadz, khususnya ketika terletak pada posisi pergantian baris,
dan lafadznya kebetulan cukup panjang, beberapa kali selalu dipisah.
Ketidaklaziman ini terutama jika dibandingkan dengan model penulisan khat modern yang memiliki kaidah-kaidah yang jelas dalam
penulisannya.
Pemenggalan lafadz demikian tentu saja tidak lazim, untuk
tidak mengatakan suatu kesalahan atau penyimpangan. Ada beberapa hal yang bisa
ditelaah dari model penulisan demikian. Pertama, penulisan mushaf tidak
dilakukan secara profesional, sehingga kurang terlihat rapi, kedua, penulis
kurang memahami kaidah penulisan bahasa Arab, sehingga terjadi pemenggalan
lafadz yang tidak lazim, atau barangkali juga untuk mensiasati berbagai
keterbatasan yang ada. Pada mushaf yang ditulis oleh profesional, atau memahami
kaidah penulisan yang baik maka tidak ditemukan model seperti ini, salah
satunya mushaf di Kesultanan Ternate. Untuk kasus pemenggalan di atas,
seseungguhnya bisa dilakukan beberapa cara, sehingga tidak perlu memenggal
lafadz menjadi terpisah dalam baris yang berbeda.
Tajwid dan Tanda Waqaf
Beberapa hal menarik lainnya yang bisa ditelaah adalah
tentang tanda tajwid dan waqaf. Pertama tentang tanda waqaf, atau tanda
berhenti. Dari pengamatan terhadap naskah yang ada, terlihat bahwa mushaf
pertama tidak mensertakan tanda waqaf pada tempat-tempat yang semestinta
terdapat tanda waqaf yang lazim ditemukan pada mushaf-mushaf modern. Tempat berhenti
pada mushaf kuno tersebut hanyalah tanda-tanda ayat yang dibuat bulatan-bulatan
warna merah dan belum bernomer. Demikian nya halnya dengan mushaf kedua, juga tidak
ditemukan waqaf. Mushaf yang memiliki tanda waqaf adalah mushaf ketiga dan
keempat. Adapun penandaan tanda waqaf yang terdapat pada kedua mushaf bisa
dilihat berikt ini,
Tanda
Waqaf Mushaf Tiga
|
|
Simbol
|
Keterangan
|
ت
|
Waqaf tam, sempurna
|
ط
|
Waqaf ini nampaknya
digunakan untuk menandai boleh berhenti dan boleh lanjut (pada mushaf modern
menggunakan symbol ج), dan juga menandai keutamaan
berhenti ( di mushaf modern ditandai dengan قلى)
|
Tanda
Waqaf Mushaf Empat
|
|
Simbol
|
Keterangan
|
ت
|
Waqaf tam, sempurna
|
ك
|
Waqaf kafi, yang berarti cukup
|
Kemudian,
berkaitan dengan tanda tajwid, keempat mushaf ini memiliki catatan dan ciri
khas masing-masing, mushaf pertama misalnya hanya mencantumkan tanda panjang di
bagian atas mad wajib, dan tidak ada tanda pada hukum tajwid yang lain seperti
mad jaiz (yang cukup banyak terdapat pada mushaf kuno lain), idgam, ikhfa dan
lain-lain. Pada mushaf kedua, tanda-tanda tajwid malah tidak ditemukan sama
sekali, termasuk mad wajib yang lazim terdapat pada sejumlah mushaf kuno.
Namun, yang menarik pada mushaf kedua ini adalah lafadz Allah sudah menggunakan
fathah berdiri di atas lam (seperti halnya Mushaf Standar Indonesia), dan
bahkan sistem penulisaannya sudah menggunakan sistem pojok, mushaf yang lazim
dipakai oleh para penghafal Al-Qur’an.
Tanda
tajwid juga tidak terdapat pada mushaf ketiga, baik mad wajib maupun yang
lainnya. Tanda tajwid yang cukup lengkap baru terdapat pada mushaf keempat. Pada mushaf ini, terdapat tanda panjang untuk mad
wajib muttasil dan mad jaiz munfasil. Meskipun ditulis dengan garis
lengkung yang sama, namun penyalin membedakannya, yakni mad wajib menggunakan
tinta hitam, sementara mad jaiz menggunakan tanda merah. Tanda lain yang
dicantumkan adalah izhar yang ditandai dengan huruf nun ن, kemudian untuk ikhfa
menggunakan tanda (seperti) ذ , dan
idgham ditandai dengan huruf غ. Namun penggunaan
tanda tajwid ini tidak konsisten karena pada bacaan tajwid yang serupa, baik
idgam, ikhfa maupun izhar tidak ditandai dengan tanda khusus. Ini menunjukan
bahwa penyalinan mushaf tidak dilakukan secara profesioanl sehingga banyak
terjadi ketidakaziman baik dalam hal penulisan maupun kekuranglengkapan
tanda-tanda tajwid yang ada.
Kesimpulan dan Saran
Tradisi penyalinan mushaf di
pulau Lombok nampak lebih banyak dilakukan oleh masyarakat setempat ketimbang dilakukan
atau diprakarsai oleh kesultanan atau kerajaan yang lazim dilakukan oleh orang
atau tokoh yang memahami tulisan dengan baik. Kesimpulan demikian dibuat
setidaknya terlihat dari jenis tulisan, khat yang sangat sederhana dari keempat
mushaf yang ada. Hal demikian bisa dimaklumi karena memang Lombok tidak
memiliki sejarah kesultanan sebagaimana daerah lain, jika pun ada, hanya berupa
kerajaan-kerajaan kecil yang tersebar di beberapa tempat.
Kemudian, berkaitan dengan
kelengkapan mushaf, dari mushaf yang dikaji hanya mushaf pertama yang terlihat
utuh, artinya masih lengkap dari Al-Fatihah hingga surah An-Nas. Mushaf-mushaf
yang lain sudah tidak utuh lagi, sebagian bahkan ada yang sudah rusak pada
beberapa bagiannya.
Berkaitan dengan kolofon, seluruh mushaf ini dan beberapa mushaf Lombok lainnya tidak
terdapat kolofon yang menjelaskan tentang identitas mushaf, baik menyangkut
tahun penulisan, identitas penyalin dan informasi lainnya yang relevan.
Beberapa aspek teks yang menarik
dicermati pada mushaf-mushaf adalah model penulisan khat yang menggunakan khat
naskhi dalam bentuk yang sederhana. Penulisan khat ini terlihat kurang
memperhatikan kaidah penulisan sehingga ada pemenggalan-pemenggalan lafadz yang
tidak lazim, utuk tidak mengatakannya sebagai penyimpangan. Selanjutnya, untuk
aspek tanda waqaf, tidak semua menggunakan tanda waqaf, hanya mushaf tiga dan
empat saja yang menggunakan. Demikian halnya dengan tanda tajwid, hanya mushaf
empat saja yang menggunakan tanda tajwid, dan itu pun dilakukan dengan tidak
konsisten dalam penerapannya.
Meski terdapat sejumlah
ketidaklaziman, baik dalam kaitannya dengan penulisan, maupun penerapan
beberapa tanda baca seperti waqaf dan tajwid, namun mushaf-mushaf ini merupakan
warisan para pendahulu, para ulama dan sekaligus menjadi saksi penyebaran Islam
di tanah Lombok yang sangat bernilai. Karena itu upaya pelestarian yang lebih
maksimal melalui pemerintah mestinya terus bisa diupayakan agar khazanah mushaf
kuno ini terus terjaga dan lestari sebagai warisan Nusantara yang menyimpan
sejumlah informasi baik yang berkaitan dengan penulisan mushaf Al-Qur’an secara
khusus, maupun keislaman secara umum.
Kepustakaan
Anwar,Rosehan, Katalog Naskah Kuno, Jakarta, Badan
Litbang Agama, 1991.
Buchari, Mahmud Al-Qur’an Manuskrif, Jakarta:
Kharisma, 1999.
Barid, Siti Baroroh, dkk. 1985. Pengantar Teori
Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Dep. Pendidikan
dan Kebudayaan.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (edisi keempat), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Syatibi, M. AH, “Menelusuri Al-Qur’an Tulisan Tangan di
Lombok”, dalam Mushaf-mushaf Kuno di Indonesia, ed. Fadhal AR Bafadhal,
Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, 2005.
[4]
Penulisan Mushaf al-Qur’an, dalam sejarah, lazimnya disponsori oleh salah satu
dari tiga pihak sebagai berikut: kerajaan, pesantren dan elit sosial. Pada
zaman dahulu banyak Mushaf al-Qur’an ditulis oleh para ulama atau seniman atas
perintah raja-raja atau sultan di suatu tempat. Mushaf-mushaf kuno yang ada di
bekas pusat-pusat kerajaan lama membuktikan hal tersebut. Di samping itu,
pesantren, yang merupakan pusat pendidikan Islam tradisional sejak berabad
lalu, juga diduga memegang peranan penting dalam penulisan al-Qur’an. Pihak
lain yang merupakan sponsor penulisan Mushaf adalah elite sosial, mereka yang
sejahtera secara sosial-ekonomi.
[5] Lihat M. Syatibi AH, “Menelusuri
Al-Qur’an Tulisan Tangan di Lombok”, dalam Mushaf-mushaf Kuno di Indonesia,
ed. Fadhal AR Bafadhal, Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, 2005, hlm. 142.
[6] Penelelititian
mushaf kuni di pulau Sumbawa ini pernah dilakukan oleh Asep Saefullah yang
dimuat di jurnal Lektur dengan judul, Mushaf Kuni dari Pulau Sumbawa NTB,
Telaah Aspek Teks dan Perwajahan.
[7] Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi keempat),
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008. Hlm. 942
[8]Barid,
Siti Baroroh, dkk. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, hlm. 67.
[9] Mengutup pendapat Lalu Gede Suparman,
Syatibi dalam tulisannya menjelaskan, hamper tidak ada raja-raja Lombok
memerintahkan penulisan Al-Qur’an, apalagi system kekuasaan mereka di Lombok
lebih bercorak demokratis. Selain itu, para raja cenderung lebih
cenderung pada tugas pemerintahan yang berkaitan dengan aspek pertahanan,
keamanan, perekonomian dan kemakmuran. LIhat M. Syatibi, M. Syatibi AH, “Menelusuri Al-Qur’an
Tulisan Tangan di Lombok”, hlm. 146